Alice in Wonderland is an upcoming fantasy-adventure film directed by Tim Burton. It is an extension to the Lewis Carroll novels Alice’s Adventures in Wonderland and Through the Looking-Glass. The film will use a [...]
Rabu, 29 Januari 2014
Upaya Pembebasan Irian Barat
Peta Papua bagian barat pada tahun 1960-an | |||||||||
| |||||||||
Pihak yang terlibat | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Indonesia | Belanda | ||||||||
Komandan | |||||||||
Soekarno Soeharto | |||||||||
Kekuatan | |||||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui | ||||||||
Korban | |||||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui |
Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah
konflik 2 tahun yang
dilancarkan Indonesia untuk
menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden
Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima.
Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi
militer untuk menggabungkan Papua bagian
barat dengan Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh
wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah
barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai
persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua
menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian
dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional.
Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai
keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan
dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak
merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda
mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia
menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda
mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan
kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang
berdiri pada 1956 dan tentara
Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan,
pada 17 Agustus1956 Indonesia
membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di PulauTidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal
Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23
September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembagadi Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembagadi Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Militer
KRI Irian, Penjelajah
kelas Sverdlov
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang
terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta
bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jendral A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya
berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet
senilai 2,5 miliar dollar Amerika
dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara
terkuat di belahan bumi selatan. [1] Amerika
Serikat tidak mendukung penyerahan Papua
bagian barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan
oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada bulan
April 1961, Robert Komer dan
McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa
penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden John
F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini
karena iklim Perang Dingin saat
itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergapMiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.[1]
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergapMiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.[1]
Diplomasi
Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand,Britania
Raya, Jerman, dan Perancis agar
mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia
dan Belanda. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker,
diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul tentang penyelesaian
masalah status Papua bagian barat. Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan
Papua bagian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu 2 tahun.
Ekonomi
Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti:
1. Perusahaan Perkebunan
2. Netherlansche Handels Mattscapij
3. Perusahaan Listrik
4. Perusahaan Perminyakan
5. Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM
Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:
1. Memindahkan pasar pelelangan tembakau Indonesia
ke Bremen (Jerman Barat)
2. Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
3. Melarang KLM (maskapai penerbangan
Belanda) melintas di wilayah Indonesia
4. Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda
5.
Konfrontasi Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi
Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima
Mandala yang isinya sebagai berikut:
·
Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam
kekuasaan Republik Indonesia.
·
Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai
dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas
atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia.
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi
tersebut.
·
Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar
sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat
sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah
dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
·
Tahap Eksploitasi (awal 1963),yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk
militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
·
Tahap Konsolidasi (awal 1964),yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan
kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya
melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962
ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
Konflik bersenjata
Soekarno, Presiden
Indonesia yang mencetuskan Trikora
Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima
Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan
Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke
Marine) menjadi tulang punggung pertahanan di perairan Papua bagian barat,
dan sampai tahun 1950, unsur-unsur
pertahanan Papua Barat terdiri dari:
·
Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)
·
Korps Mariniers
·
Marine Luchtvaartdienst[2]
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda
terus bertambah dengan kesatuan dari Koninklijke
Landmacht (Angkatan Darat
Belanda) dan Marine
Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 batalyon yang ditempatkan di Sorong, Fakfak,Merauke, Kaimana,
dan Teminabuan.[2]
Operasi-operasi Indonesia
Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua
bagian barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan
sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udarauntuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udarauntuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.
Kepolisian
Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade
Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen
tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat.
Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur
Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan
di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian
barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh
ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek
vital milik Belanda. Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat
Hercules kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa
karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal.[3]
Pertempuran laut Aru
Komodor Yos Sudarso yang tenggelam di
Laut Aru pada saat terjadinyaPertempuran Laut Aru.
Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962,
ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli
pada posisi 4°49' LS dan
135°02' BT. Menjelang pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal
di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, dimana berarti
kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba
suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI
itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut.[3]
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[3] Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[3] Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Operasi penerjunan penerbang Indonesia
Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi
infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka
diterjunkan di daerah pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan tersebut
menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun operasi ini hanya mengandalkan
faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari. Penerjunan
itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan C-47
Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya,
penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.[1] Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun
payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, dengan menaiki
pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan
penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan menyampaikan bahwa
mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga disampaikan
sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu
mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke
pesawat Hercules. Pada pukul 03:30 WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor
Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.
Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses
pendaratan 81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera meninggalkan
daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang
menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat
Neptune milik Belanda.[1]
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[4] Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[4] Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
Akhir dari konflik
Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam
konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia.
Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada
tanggal 15 Agustus 1962.
Pemerintah Australiayang awalnya
mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung
penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.[5][6]
Persetujuan New York
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan
antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York.
Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van
Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan New York adalah:
·
Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian
barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA
kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
·
Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur
oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
·
UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani
keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa
peralihan.
·
Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan
kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara
bebas melalui
1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat
2. penetapan tanggal penentuan pendapat
3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk
Papua untuk
·
tetap bergabung dengan Indonesia; atau
·
memisahkan diri dari Indonesia
4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan,
untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan
standar internasional
·
Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan
pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963,
Papua bagian barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah
Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu
kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan
melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965.
Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan
berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara.
Menurut Amnesty International, lebih
dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga
memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Penentuan Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal Sarwo
Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror,
beberapa minggu sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para
pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan
ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia.[7][8] Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.[9]Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia,
namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai
pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak
ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua bagian barat menjadi
provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.
Setelah penggabungan
Patung di Jakarta untuk merayakan "pembebasan" Papua barat.
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya,
Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:
1. Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17
Agustus 1945namun masih dipegang oleh
Belanda
2. Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi
Meja Bundar
3. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut
kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
4. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat
Papua.
Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional.[1][2]
Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdekamemprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan. Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat.[10][11][12] Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberiotonomi khusus kepada provinsi Papua untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi: Papua danIrian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.
Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdekamemprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan. Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat.[10][11][12] Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberiotonomi khusus kepada provinsi Papua untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi: Papua danIrian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar