Alice in Wonderland is an upcoming fantasy-adventure film directed by Tim Burton. It is an extension to the Lewis Carroll novels Alice’s Adventures in Wonderland and Through the Looking-Glass. The film will use a [...]

Jennifer’s Body is a 2009 black comedy horror film written by Diablo Cody and directed by Karyn Kusama. The film stars Megan Fox, Amanda Seyfried, Adam Brody and Johnny Simmons and portrays a newly [...]

Sherlock Holmes is a 2009 film adaptation of Arthur Conan Doyle’s fictional character of the same name. The film was directed by Guy Ritchie and produced by Joel Silver, Lionel Wigram, Susan [...]

The Imaginarium of Doctor Parnassus is a 2009 fantasy film directed by Terry Gilliam and written by Gilliam and Charles McKeown. The film follows the leader of a travelling theatre troupe who, having made a deal [...]

Alice in Wonderland Movie Poster Megan Fox in Jennifer’s Body Sherlock Holmes Nominated for Golden Globe The Imaginarium of Doctor Parnassus

Selasa, 28 Januari 2014

Sebuah Anlisis ORDE BARU : MASA KEEMASAN DAN KEJATUHANNYA


ORDE BARU : MASA KEEMASAN DAN KEJATUHANNYA


Orde Baru adalah masa dimana seorang Presiden Soeharto berkuasa yang dimulai sejak tahun 1966 dan berakhir pada 1998. Periode tersebut merupakan salah satu periode terpenting bagi perjalan bangsa ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Selama 32 tahun seorang Presiden dapat berkuasa memimpin negeri yang sangat luas ini. Kekuasaannya dimulai sejak kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Dukungan dari militer yang kuat dan setia serta  sekelompok kecil sipil membuat rezim ini dapat berkuasa. Militer dengan empat angkatannya, yakni darat, laut, udara, dan polisi menjadi pilar utama rezim ini. Meskipun banyak kritikan menganai hal ini, tetapi fakta membuktikan bahwa militer tetap menjadi pionir bagi rezim Orde Baru.
Prestasi Presiden Soeharto diawali dengan peristiwa berdarah yakni tragedi G 30 S 1965. Dia mampu membasmi PKI yang berhaluan komunis. Hal tersebut mengundang bergam anggapan dari beberapa pengamat. Ada yang memujinya dan ada pula yang mencelanya karena telah melakukan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Pembantaian besar-besaran terhadap orang yang dianggap berhaluan komunis diatandai dengan jatuhnya korban jiwa hingga 500.000 orang.[1] Pada 1968-1969 ratusan orang dijadikan tahanan politik dan mendapat siksaan. Tak jarang pula ada yang meninggal dunia karena mengalami kelaparan.[2] Peristiwa ini melahirkan banyak perubahan, mulai dari bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hubungan internasional.
Soeharto diangkat sebagai Penjabat Presiden tahun 1967 dan pada 1968 resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Pemulihan di bidang ekonomi menjadi fokus utamanya. Keadaan ekonomi Indonesia dapat dikatakan sangat merosot pada masa akhir kepemimpinan Soekarno dengan nilai inflasi sangat tinggi. Setelah diambil alih oleh Soeharto, angka inflasi dapat ditekan sekitar 100 persen pada 1967.[3] Meskipun angkanya masih tinggi, tetapi hal tersebut merupakan kemajuan besar bagi perekonomian Indonesia.
Utang luar negeri juga menjadi warisan dari pemerintahan Soekarno yang menunggu untuk diselesaikan. Jumlah utang mencapai US$ 2,36 miliar. Akhirnya, dibentuklah ICGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) pada tahun 1967 untuk membantu mengatasi utang Indonesia. Strategi pintu terbuka diterapkan bagi masukny para investor asing dan mengendalikan ekonomi dalam negeri secara tegas.
Kestabilan politik diciptakan oleh rezin Soeharto. Hal tersebut akan berdampak baik pula bagi kehidupan perekonomian maupun sosial Indonesia. Kebijakan luar negeri baru diciptakan. Hal ini bertujuan agar memperoleh bantuan dan menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hubungan yang bersifat regional maupun internasional dipulihkan kembali. Hubungan dengan Malaysia semakin membaik, Indonesia kembali menjadi anggota PBB, dan menjadi sponsor terbentuknya ASEAN. Pada organisasi ASEAN, Indonesia menjadi motor penggerak utama dalam organisasi regional tersebut. Tindakan represif juga diterapkan oleh rezim Orde Baru dengan mengendalikan kehidupan pers, mahasiswa, dan masyarakat umum yang mencoba mengusik kepemimpinan Soeharto.
Pada 1976-1988 dapat dikatan menjadi masa-masa keemasan Orde Baru. Berbagai program yang diciptakannya mengalami kesuksesan. Program Keluarga Berencana dijalankan untuk menekan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan hingga 1,97% pada 1980-an. Swasembada pangan dan pendidikan juga menjadi perhatian rezim Orde Baru. Swasembada dilakukan dengan peningkatan produksi beras. Jikalau pada tahun 1969 Indonesia hanya dapat memproduksi beras sebanyak 12,2 juta ton, pada tahun 1984 Indonesia sudah dapat menghasilkan 25,8 juta ton beras. Pendidikan semakin ditingkatkan dengan membangun 100.000 sekolah di daerah pedalaman dan memperkerjakan 500.000 guru. Hal tersebut menjadikan angka melek huruf semakin meningkat yakni 80,4% bagi laki-laki dan 63,6% bagi perempuan pada 1980. Tak mengherankan jika dia mendapat gelar sebagai Bapak Pembangunan.
Kesuksesan lain adalah ketika Pemilu 1977. Golkar yang notabennya adalah partai milik Soeharto mendapat suara mutlak. Sekitar 62,1% suara masuk ke partai tersebut dan unggul jauh diatas rival-rivalnya (PPP: 29,3%, PDI: 8,6%). Dengan hasil tersebut sudah dapat dipastikan bahwa kursi DPR maupun MPR secara mayoritas diduduki oleh Golkar. Soeharto pun kembali dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia untuk yang ketiga kalinya.
Keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Soeharto dengan rezim Orde Barunya nampaknya mengalami keruntuhan. Keburukan yang dilakukan oleh rezim Soeharto mulai nampak ke permukaan semenjak rezim ini mengalami kemunduran. Periode 1989-1998 merupakan masa tersulit yang harus dilalui oleh rezim ini. Mulai dari tindakan pelanggaran HAM, pembungkaman pers, korupsi yang sangat besar, utang luar negeri yang tinggi, dan krisis ekonomi. Separatisme juga menjadi masalah tersendiri yang harus dihadapi oleh Soeharto ketika Aceh dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)-nya ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Setelah kematian isterinya pada 1996 kesehatan Soeharto mulai menurun. Dia pernah mendapatkan perawatan di Jerman. Kurs dan harga di lantai bursa juga mengalami dampak akibat kesehatan Soeharto yang memburuk tersebut. Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup dahsyat. Krisis yang dialami oleh Thailand pada Juli 1997 juga berdampak terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada akhir 1997, krisis ekonomi yang dialami Indonesia berakibat pula terhadap suasana politik Indonesia.[4] Soeharto mengambil langkah dengan menandatangani perjanjian pemberian utang dengan IMF (International Monetary Fund).
Beberapa hari sebelum kejatuhan Soeharto merupakan hari-hari terpanjang yang harus dilaluinya. Tuntutan reformasi dari rakyat terus menggema. Demonstrasi terjadi diberbgai daerah. Terjadi sebuah insiden ketika penembak jitu ABRI menembak empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei.[5] Lebih dari seribu orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13-15 Mei. Suasana negeri ini semakin tidak kondusif.
Soeharto yang kala itu menghadiri sebuah konferensi di Kairo memutuskan untuk segera kembali ke tanah air pada 15 Mei 1998. Tiga hari berselang, Harmoko, yang kala itu menjabat sebagai ketua MPR, secara terang-terangan meminta kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. MPR dan ABRI pun mendukung segera diadakannya sidang istimewa guna memilih presiden yang baru. Nampaknya usaha yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenannya kala itu telah mendapatkan dukungan dari pejabat tinggi pemerintahan.
Kajatuhan Soeharto nampaknya tak bisa dihindarkan lagi. Pada 21 Mei pukul sembilan pagi bertempat di Istana Merdeka, dia menyatakan pengunduran dirinya. Presiden kedua Indonesia tersebut mengeluarkan pernyataan: “Saya berpandangan bahwa sangat sulit bagi saya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan saya. Saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.” [6] B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden ditunjuk untuk menggantikannya memegang pimpinan tertinggi negara ini.
Indonesia mengalami masa-masa reformasi dibawah presiden baru, B.J. Habibie. Dia mulai menata kembali kehidupan negeri ini. Ada beberapa hal pokok yang harus dilakukannya. Masa depan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, ABRI, dan wilayah-wilayah konflik menjadi fokus yang harus segera ia selesaikan. Sementara itu, masalah penyelesaian kasus yang dihadapi oleh Soeharto dengan berbagai hal yang telah dilakukannya berjalan lambat. Hal tersebut memunculkan ketidakpuasan besar dikalangan pendukung reformasi. Periode rezim Orde Baru hingga kejatuhannya memang menjadi periode kelam dalam perjalanan negara ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Banyak hal yang telah dilakukan oleh rezim terlama yang pernah ada di negeri ini guna mempertahankan kekuasaannya tanpa menghiraukan adanya pihak lain yang berada diluar rezim tersebut.


[1]Asvi Warman Adam, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hlm. vi.
[2]Adam Soepardjan, Mendobrak Penjara Rezim Soeharto (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hlm. x.
[3]Op. Cit., hlm. 605
[4]van Klinken, Gerry, The Last Days of President Suharto (Clayton: Monash Asia Institute, 1999), hlm. 1. 
[5]Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 689.
[6]Anderson, Ben, Soeharto Lengser Perspektif Luar Negeri (Yogyakarta: LKiS, 1998), hlm. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 Share About Knowladge