Alice in Wonderland is an upcoming fantasy-adventure film directed by Tim Burton. It is an extension to the Lewis Carroll novels Alice’s Adventures in Wonderland and Through the Looking-Glass. The film will use a [...]
Selasa, 28 Januari 2014
Sebuah Anlisis ORDE BARU : MASA KEEMASAN DAN KEJATUHANNYA
ORDE BARU : MASA KEEMASAN DAN KEJATUHANNYA
Orde Baru adalah masa dimana seorang Presiden Soeharto
berkuasa yang dimulai sejak tahun 1966 dan berakhir pada 1998. Periode tersebut
merupakan salah satu periode terpenting bagi perjalan bangsa ini setelah
menyatakan kemerdekaannya. Selama 32 tahun seorang Presiden dapat berkuasa
memimpin negeri yang sangat luas ini. Kekuasaannya dimulai sejak kejatuhan
Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Dukungan dari militer yang kuat dan setia
serta sekelompok kecil sipil membuat rezim ini dapat berkuasa. Militer
dengan empat angkatannya, yakni darat, laut, udara, dan polisi menjadi pilar
utama rezim ini. Meskipun banyak kritikan menganai hal ini, tetapi fakta
membuktikan bahwa militer tetap menjadi pionir bagi rezim Orde Baru.
Prestasi Presiden Soeharto diawali dengan peristiwa berdarah
yakni tragedi G 30 S 1965. Dia mampu membasmi PKI yang berhaluan komunis. Hal
tersebut mengundang bergam anggapan dari beberapa pengamat. Ada yang memujinya
dan ada pula yang mencelanya karena telah melakukan kejahatan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM). Pembantaian besar-besaran terhadap orang yang dianggap
berhaluan komunis diatandai dengan jatuhnya korban jiwa hingga 500.000 orang.[1] Pada
1968-1969 ratusan orang dijadikan tahanan politik dan mendapat siksaan. Tak
jarang pula ada yang meninggal dunia karena mengalami kelaparan.[2] Peristiwa
ini melahirkan banyak perubahan, mulai dari bidang sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan hubungan internasional.
Soeharto diangkat sebagai Penjabat Presiden tahun 1967 dan
pada 1968 resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Pemulihan di bidang
ekonomi menjadi fokus utamanya. Keadaan ekonomi Indonesia dapat dikatakan
sangat merosot pada masa akhir kepemimpinan Soekarno dengan nilai inflasi
sangat tinggi. Setelah diambil alih oleh Soeharto, angka inflasi dapat ditekan
sekitar 100 persen pada 1967.[3] Meskipun
angkanya masih tinggi, tetapi hal tersebut merupakan kemajuan besar bagi
perekonomian Indonesia.
Utang luar negeri juga menjadi warisan dari pemerintahan
Soekarno yang menunggu untuk diselesaikan. Jumlah utang mencapai US$ 2,36
miliar. Akhirnya, dibentuklah ICGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) pada
tahun 1967 untuk membantu mengatasi utang Indonesia. Strategi pintu terbuka
diterapkan bagi masukny para investor asing dan mengendalikan ekonomi dalam
negeri secara tegas.
Kestabilan politik diciptakan oleh rezin Soeharto. Hal
tersebut akan berdampak baik pula bagi kehidupan perekonomian maupun sosial
Indonesia. Kebijakan luar negeri baru diciptakan. Hal ini bertujuan agar
memperoleh bantuan dan menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Hubungan yang bersifat regional maupun internasional dipulihkan
kembali. Hubungan dengan Malaysia semakin membaik, Indonesia kembali menjadi
anggota PBB, dan menjadi sponsor terbentuknya ASEAN. Pada organisasi ASEAN,
Indonesia menjadi motor penggerak utama dalam organisasi regional tersebut.
Tindakan represif juga diterapkan oleh rezim Orde Baru dengan mengendalikan
kehidupan pers, mahasiswa, dan masyarakat umum yang mencoba mengusik
kepemimpinan Soeharto.
Pada 1976-1988 dapat dikatan menjadi masa-masa keemasan Orde
Baru. Berbagai program yang diciptakannya mengalami kesuksesan. Program
Keluarga Berencana dijalankan untuk menekan pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi. Tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan hingga 1,97% pada 1980-an.
Swasembada pangan dan pendidikan juga menjadi perhatian rezim Orde Baru.
Swasembada dilakukan dengan peningkatan produksi beras. Jikalau pada tahun 1969
Indonesia hanya dapat memproduksi beras sebanyak 12,2 juta ton, pada tahun 1984
Indonesia sudah dapat menghasilkan 25,8 juta ton beras. Pendidikan semakin
ditingkatkan dengan membangun 100.000 sekolah di daerah pedalaman dan memperkerjakan
500.000 guru. Hal tersebut menjadikan angka melek huruf semakin meningkat yakni
80,4% bagi laki-laki dan 63,6% bagi perempuan pada 1980. Tak mengherankan jika
dia mendapat gelar sebagai Bapak Pembangunan.
Kesuksesan lain adalah ketika Pemilu 1977. Golkar yang
notabennya adalah partai milik Soeharto mendapat suara mutlak. Sekitar 62,1%
suara masuk ke partai tersebut dan unggul jauh diatas rival-rivalnya (PPP:
29,3%, PDI: 8,6%). Dengan hasil tersebut sudah dapat dipastikan bahwa kursi DPR
maupun MPR secara mayoritas diduduki oleh Golkar. Soeharto pun kembali dipilih
menjadi Presiden Republik Indonesia untuk yang ketiga kalinya.
Keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Soeharto dengan
rezim Orde Barunya nampaknya mengalami keruntuhan. Keburukan yang dilakukan
oleh rezim Soeharto mulai nampak ke permukaan semenjak rezim ini mengalami
kemunduran. Periode 1989-1998 merupakan masa tersulit yang harus dilalui oleh
rezim ini. Mulai dari tindakan pelanggaran HAM, pembungkaman pers, korupsi yang
sangat besar, utang luar negeri yang tinggi, dan krisis ekonomi. Separatisme
juga menjadi masalah tersendiri yang harus dihadapi oleh Soeharto ketika Aceh
dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)-nya ingin memisahkan diri dari Republik
Indonesia.
Setelah kematian isterinya pada 1996 kesehatan Soeharto mulai
menurun. Dia pernah mendapatkan perawatan di Jerman. Kurs dan harga di lantai
bursa juga mengalami dampak akibat kesehatan Soeharto yang memburuk tersebut.
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup dahsyat. Krisis yang dialami oleh
Thailand pada Juli 1997 juga berdampak terhadap negara-negara di kawasan Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Pada akhir 1997, krisis ekonomi yang dialami
Indonesia berakibat pula terhadap suasana politik Indonesia.[4] Soeharto
mengambil langkah dengan menandatangani perjanjian pemberian utang dengan IMF
(International Monetary Fund).
Beberapa hari sebelum kejatuhan Soeharto merupakan hari-hari
terpanjang yang harus dilaluinya. Tuntutan reformasi dari rakyat terus
menggema. Demonstrasi terjadi diberbgai daerah. Terjadi sebuah insiden ketika
penembak jitu ABRI menembak empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei.[5] Lebih
dari seribu orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13-15 Mei.
Suasana negeri ini semakin tidak kondusif.
Soeharto yang kala itu menghadiri sebuah konferensi di Kairo
memutuskan untuk segera kembali ke tanah air pada 15 Mei 1998. Tiga hari
berselang, Harmoko, yang kala itu menjabat sebagai ketua MPR, secara
terang-terangan meminta kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. MPR dan ABRI
pun mendukung segera diadakannya sidang istimewa guna memilih presiden yang
baru. Nampaknya usaha yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menggulingkan
Soeharto dari kursi kepresidenannya kala itu telah mendapatkan dukungan dari
pejabat tinggi pemerintahan.
Kajatuhan Soeharto nampaknya tak bisa dihindarkan lagi. Pada
21 Mei pukul sembilan pagi bertempat di Istana Merdeka, dia menyatakan
pengunduran dirinya. Presiden kedua Indonesia tersebut mengeluarkan pernyataan:
“Saya berpandangan bahwa sangat sulit bagi saya untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan saya. Saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesia.” [6] B.J.
Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden ditunjuk untuk
menggantikannya memegang pimpinan tertinggi negara ini.
Indonesia mengalami masa-masa reformasi dibawah presiden
baru, B.J. Habibie. Dia mulai menata kembali kehidupan negeri ini. Ada beberapa
hal pokok yang harus dilakukannya. Masa depan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,
ABRI, dan wilayah-wilayah konflik menjadi fokus yang harus segera ia
selesaikan. Sementara itu, masalah penyelesaian kasus yang dihadapi oleh
Soeharto dengan berbagai hal yang telah dilakukannya berjalan lambat. Hal
tersebut memunculkan ketidakpuasan besar dikalangan pendukung reformasi.
Periode rezim Orde Baru hingga kejatuhannya memang menjadi periode kelam dalam
perjalanan negara ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Banyak hal yang telah
dilakukan oleh rezim terlama yang pernah ada di negeri ini guna mempertahankan
kekuasaannya tanpa menghiraukan adanya pihak lain yang berada diluar rezim
tersebut.
[1]Asvi Warman Adam, Soeharto Sisi Gelap Sejarah
Indonesia (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2004), hlm. vi.
[2]Adam Soepardjan, Mendobrak Penjara Rezim
Soeharto (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2004), hlm. x.
[3]Op. Cit., hlm.
605
[4]van Klinken, Gerry, The Last Days of President Suharto (Clayton: Monash Asia
Institute, 1999), hlm. 1.
[5]Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern
1200-2008 (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 689.
[6]Anderson, Ben, Soeharto Lengser Perspektif
Luar Negeri (Yogyakarta:
LKiS, 1998), hlm. 65.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar